Ini adalah malam kedua aku menempati rumah baruku. Rumah dengan arsitektur Belanda yang terletak di samping hutan. Aku yakin kau tak akan mau menempati tempat tinggal seburuk ini. Entahlah, tak ada pilihan lain bagiku selain tinggal di rumah ini.
Seminggu yang lalu aku kehilangan rumah lamaku, lagi-lagi karena masalah utang yang menumpuk. Itulah sebabnya aku tak mau lagi berurusan dengan yang namanya utang. Terlalu banyak meninggalkan kepedihan.
Baiklah, hal yang membawaku singgah di tempat ini adalah pertemuanku dengan seorang kakek dua hari lalu. Seperti telah mengetahui masalah yang kuhadapi, beliau menawarkan tempat tinggal ini untukku. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Namanya pun aku tak tahu, ia tak menyebutkan. Mengenai rumah ini, tempatnya cukup luas dengan dua lantai dan tujuh kamar. Tak lupa ruang bawah tanah yang sampai sekarang tak berani kukunjungi. Aku tak mempunyai tetangga, jarak rumah kami lumayan jauh sekitar lima ratus meter.
***
Aku terbangun dari tempat tidur ketika mendengar suara pintu terbuka. Pandanganku langsung tertuju pada lukisan Monalisa yang tak lagi pada tempatnya. Tanpa rasa curiga sedikitpun aku langsung bergegas keluar kamar untuk memeriksa pintu utama yang sepertinya terbuka. Ruang tamu terlihat begitu gelap, aku sengaja mematikan lampu untuk lebih berhemat.
Benar saja, pintu depan benar-benar terbuka sehingga aku dapat merasakan dinginnya angin malam itu. Tak kudapati siapapun di ruang tamu kecuali kursi goyang di pojok rumah dekat kamar mandi dengan lukisan Monalisa yang telah berada di atasnya.
Aku hanya menghembuskan nafas berat menahan rasa janggal di hati, berusaha menenangkan diri dengan menganggap semua hanya halusinasi. Kembali kulangkahkan kakiku ke dalam kamar setelah mengunci pintu utama. Kurebahkan kembali tubuhku di atas kasur dan berusaha memejamkan mata.
Aku mengubah posisi tidurku berkali-kali, namun rasanya aku tak dapat tidur juga. Tiba-tiba angin terasa begitu dingin. Selimutku seakan-akan tak lagi menutup tubuh, bantal dan kasurku juga terasa aneh tak seperti biasanya. Ku coba membuka mataku perlahan-lahan, aku langsung terperanjat ketika ku dapati diriku yang tak lagi berada di kamar. Aku duduk di atas gundukan tanah dengan nisan yang telah tua. Tak hanya satu, tapi aku berada di tengah-tengah mereka. Rumahku telah berubah menjadi pemakaman.
Aku tak ingin terlihat gugup dan takut, walau mungkin ekspresi tubuhku menandakan orang yang benar-benar takut. Ku langkahkan kaki gemetarku menjauhi tempat ini. Berharap ayam-ayam segera berkokok dan mengakhiri halusinasi bodoh ini. Ku pandangi sekitarku, tak ada pemandangan lain kecuali beberapa gundukan tanah dan batu nisan.
Rasanya telah lama aku berjalan namun tetap tak sampai pada jalan raya. Sepertinya ini bukan halusinasi, sesuatu yang aneh telah meninmpaku, membuatku semakin benci dengan hidup. Aku jadi teringat dengan masa-masa yang kulalui dengan tekanan. Berkali-kali kucoba mengakhiri hidup, namun tak satupun yang berhasil.
Tak ada suara burung atau serangga malam, hanya pemakaman sepi dengan sinar bulan yang sedikit tertutup awan putih.
***
Entahlah, berapa lama aku terlelap di tengah pemakaman semalam. Namun yang jelas aku telah berada kembali di tempat tidurku. Begitu juga lukisan Monalisa yang sempat terlihat terduduk di atas kursi goyang, kini telah kembali menggantung di dinding kamarku.
Sinar matahari mulai masuk dari balik korden yang kubiarkan terbuka sebelum peristiwa janggal semalam. Aku berjalan ke dapur untuk menyeduh segelas kopi. Rumah ini kembali terlihat seperti biasa. Aku berencana untuk segera pergi dari tempat ini seusai menikmati kopi dan mandi.
Saat kakiku mulai menginjak kamar mandi, samar-samar terdengar suara piano dimainkan. Permainannya sangat kacau dan membuatku ingin menutup telinga rapat-rapat. Aku berjalan mengikuti arah suara itu. Tidak salah lagi, pasti dari ruang bawah tanah. Seperti yang dikatakan kakek itu bahwa pintu menuju ruang bawah tanah terletak di samping lemari tua.
Lemari itu berada di ruang tengah, di sana terdapat beberapa lukisan keluarga Belanda dengan sofa-sofa yang penuh debu. Ruangan itu sangat gelap dan aku tak berhasil menemukan tombol lampu. Ketika tubuhku tepat berada di pintu menuju ruang bawah tanah, suara piano itu semakin keras. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga pelahan-lahan. Kulihat seisi ruangan, Nampak penuh sarang laba-laba dan berdebu.
Mataku menangkap seorang wanita yang sedang duduk di pojok ruangan. Ia membelakangiku. Rambutnya pendek tertutup pita putih di bagian atas. Begitu pula gaun putih yang ia gunakan berhias pita biru besar. ”Sialan, aku di permainkan.”
Segera kupercepat langkan kakiku menaiki tangga kembali. Kakiku lebih terasa berat seperti ditahan oleh sesuatu. Kulirik perempuan tadi, ia sudah tak berada disana. Kubenamkan rasa takutku dengan menganggap ini hanya halusinasi bodoh seperti semalam. Kututup pintu penghubung itu dengan keras lalu melangkah menuju kamar.
Akan kubereskan seluruh barangku dan meninggalkan tempat aneh ini. Kau pasti tak percaya dengan apa yang kulihat. Wanita bergaun dengan pita putih itu sedang duduk di kursi reyot sambil menatapku. Tatapannya dingin, mata yang besar dan menakutkan.
Aku terus berjalan tanpa menghiraukannya. Kututupi rasa takutku yang memaksa untuk berlari dan berteriak. Saat kakiku berhenti tepat di depan pinti kamar, kulirik sedikit cahaya yang ditangkap oleh sebagian mataku.
Ternyata ruang tengah tak lagi gelap. Seperti ada sinar lampu yang terang disana. Tak ingin terjebak dalam kondisi menyebalkan lagi, aku segera masuk kedalam kamar dan membereskan seluruh barangku. Lukisan monalisa tak lagi ada di tempatnya.
Angin tak bersahabat seperti semalam pun kembali bertiup. Korden-korden kuning lusuh itu bergerak melambai-lambai, dan yang paling mengagetkan adalah sinar matahari tak lagi terlihat. Tiba-tiba hari telah berganti malam.
Padahal ketika kulewati ruang tamu tadi, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mungkin kau bertanya-tanya tentang jam tersebut. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa ia masih berfungsi.
Aku berjalan secepat mungkin menuju pintu. Terkunci. Pintu itu terkunci dari luar, tapi aku tak menyerah dan segera ku ambil kunci cadangan di bawah bantal usangku.
Sempat berkali-kali kunci itu terjatuh karena tanganku yang gemetar. Akhirnya ku telah dapat membukanya. ”Setan terkutuk,” teriakku begitu saja saat pemandangan di depanku adalah gundukan tanah dengan nisan-nisan berbentuk salib.
Kamarku telah hilang seperti tertiup angin. Aku berdiri di tempat semalam itu lagi. Bedanya, kali ini langit sedang mendung dengan kilat-kilat yang cahayanya dipantulkan nisan. Kakiku semakin bergetar hebat. Malam yang dingin justru membuatku mengeluarkan banyak keringat.
Baca juga: Dia Bilang, Namanya Anna Karenina
Aku sudah tahu tak akan menemukan jalan keluar, jadi ku dudukkan diriku di tanah dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat cahaya putih, ia semakin mendekat ke arahku. Membuatku semakin takut namun harus pasrah. Cahaya itu semakin besar. Tepat ketika cahaya itu di depanku ia berubah menjadi gadis bergaun putih lagi.
Aku memejamkan mata tak berani melihatnya. Mungkin sekitar lima menit, lalu ku buka mataku secara perlahan. Gadis itu telah pergi dan aku terduduk di sofa reyot ruang tengah,”Kali ini aku harus benar-benar meninggalkan tempat ini,” ucapku dalam hati lalu bergegas menuju pintu utama.
***
Aku telah berada jauh dari rumah tua itu. Tepatnya di kampung kecil yang tergolong sangat primitif. Aku berjalan melewati beberapa orang yang mengacuhkanku, mereka tak mau memandangku apalagi membalas senyum
Aku berjalan semakin jauh dan mendekati sebuah sungai kecil yang airnya sangat keruh. Rumput-rumput di sampingnya pun terlihat kering dan layu. Aku berhenti untuk mencari jembatan atau alat lain untuk menyeberang. Tak ada yang kulihat selain sungai dan rumput kering. Aku berpikir untuk kembali ke desa kecil tadi dan meminta bantuan.
Ketika tubuhku mulai berbalik, di depanku tak lagi jalanan rusak yang menghubungkan pada desa kecil kecuali hutan gelap dengan gubuk tua di depannya. Aku dapat melihat seseorang duduk di gubuk itu. Tak kuperhatikan lagi kecuali menjeburkan diri ke dalam sungai. Aku berusaha berenang dan melawan arus yang begitu berat. Mungkin karena rasa takutku yang telah memuncak sehingga aku dapat melewati sungai itu.
Seseorang sedang duduk untuk menyabit rumput di depanku. Aku tak tahu apakah ia golongan dari rumah Belanda itu atau bukan. Aku tidak menyapa lelaki itu, hanya berjalan lurus melewatinya. Ketika aku telah berada sekitar dua puluh meter dari tempatnya tadi, Aku menolehkan kepala untuk mencarinya. Ternyata ia masih tetap duduk di tempatnya tadi. Aku sedikit tersenyum lega dan menghampirinya.
”Kakek.”
”iya,” jawabnya dengan sedikit ragu.
”Saya mau tanya, apa benar di balik hutan itu ada rumah tua bekas bangunan Belanda?”
”Hutan yang mana dik?,” kali ini ia berdiri dan menatapku bingung. Kau tahu apa yang kulihat?
Tempat yang tadi sempat menjadi rumah penduduk dan hutan gelap, kini telah berganti menjadi pemakaman dengan nisan-nisan berbentuk salib. Lalu aku meminta maaf pada kakek tadi dan pergi dalam keadaan lemah.