Saat itu hari libur. Saya sengaja mengikuti seminar yang diadakan oleh salah satu prodi di kampus. Saya lupa mengenai judul seminar tersebut, tapi topiknya adalah tentang LGBT.
Di usia awal 20-an, saya memang sangat bandel; selalu berusaha keras mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul di benak saya. Ketika itu, saya penasaran sekali tentang LGBT. Maksud saya, “Kok bisa sih ada yang suka sesama jenis?”
LGBT di Pesantren
Moderator menyambut pembicara kami pagi itu. Semua audiens menoleh ke belakang, ke sosok lelaki tinggi besar yang berjalan sedikit gemulai ke arah panggung. Dia mengenakan topeng. Lelaki itu, kita sebut saja Mas Ro.
Mas Ro bercerita bahwa ia adalah mantan seorang gay. Dia bercerita bagaimana awalnya ia menjadi penyuka sesama jenis.
Saat lulus SD, Mas Ro dimasukkan ke dalam salah satu pesantren di Jawa Timur. Saat menjadi junior itulah dia mendapatkan kekerasan seksual. Beberapa santri yang merupakan seniornya mencabulinya secara bergantian.
Tentu dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk membalas dendam kepada para pelaku kekerasan tersebut. Sayangnya balas dendam yang ia lakukan bukannya mengadukan pelaku, malah condong menjadi gay seperti beberapa seniornya di pesantren tersebut.
Mas Ro bilang itu adalah masa lalu. Dia sekarang sudah berubah. Dia bahkan menunjukkan foto dirinya dan kekasih (perempuan) yang akan segera menikah. (Foto keduanya ditutup bagian muka).
Saya sedih mendengar kisah itu. Bahkan hingga saat ini, saya ingat jelas bagaimana rasa sakit di hati ketika mendengarkan cerita beliau. Apalagi sekarang saya memiliki seorang anak laki-laki.
Tentu saja, ini adalah perbuatan dari seorang oknum. Tidak semua santri laki-laki senior seperti itu.
Baca juga: Ladies, Kurang Lebih Begini Lho 5 Ciri-ciri Suami Berselingkuh
Mairil dan Nyampet: Cerita Klasik yang Diabaikan
Di tengah kehidupan yang didominasi oleh nilai-nilai keagamaan dan budaya tradisional, fenomena homoseksualitas di kalangan santri di pesantren menjadi perbincangan yang tidak pernah habis.
Mairil dan Nyampet, dua istilah yang menggambarkan hubungan sesama jenis di pesantren, menjadi sorotan dalam penelitian akademis dan pembahasan tentang pendidikan di lingkungan pesantren.
Mairil adalah istilah yang merujuk pada santri senior yang memiliki orientasi seksual sesama jenis dengan santri baru, khususnya yang memiliki penampilan menarik secara fisik.
Di sisi lain, Nyampet adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada hubungan pacaran antara sesama jenis yang terjadi di dalam lingkungan pesantren.
Beberapa penelitian menyoroti dua faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya fenomena Mairil dan Nyampet di pesantren.
Pertama, keterbatasan akses komunikasi antara santri cowok dengan santri cewek karena pesantren umumnya merupakan lingkungan homogen yang terdiri dari santri cowok saja.
Kedua, kurangnya kontrol dari pihak pesantren terhadap aktivitas santri di luar jam pelajaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan Mairil dan Nyampet biasanya dimulai sejak santri menetap di pesantren pada rentang usia 13-17 tahun. Kegiatan ini sering dilakukan di malam hari, di kamar, dan terjadi hampir setiap malam.
Baca juga: Menjadi Ibu: Banyak Mimpi yang Akhirnya Dikubur?
Motivasi melakukan Mairil dan Nyampet bervariasi, mulai dari suka sama suka hingga adanya paksaan dari pihak tertentu.
Saya pernah baca kisah lain, memang ada junior yang dipaksa (dilecehkan) sebagaimana yang dihadapi oleh Mas Ro dalam cerita di atas. Ini menunjukkan kalau kisah Mairil dan Nyampet memang nyata adanya. Bahkan banyak korban yang merasa malu untuk mengadu.
Di sisi lain, seorang teman pernah bercerita mengenai sisi lain salah satu pesantren ngetop di Jawa Timur yang beberapa santrinya adalah homo. Bahkan ada salah satu lelaki gemulai yang dijadikan “Cowok bayaran”. Saya tidak tahu bagaimana menyebutnya.
Santri yang terlibat dalam Mairil dan Nyampet cenderung menyadari bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai pesantren.
Namun, kurangnya penegakan aturan dan hukuman terhadap perilaku ini membuatnya terus berlanjut. Selain itu, pengetahuan santri tentang dampak kesehatan, terutama terkait dengan HIV/AIDS, masih terbilang kurang.
Bagaimana Cara Melindungi Anak Kita dari Pelecehan Seksual?
Sex education, atau pendidikan seks, adalah salah satu cara yang sangat penting untuk melindungi anak-anak dari pelecehan seksual.
Melalui sex education, anak-anak diberikan pemahaman yang tepat tentang tubuh mereka, hak-hak mereka, dan batasan-batasan yang harus dijaga dalam hubungan interpersonal.
Pendidikan seksual yang baik akan memberikan informasi tentang anatomi tubuh, reproduksi, kesehatan seksual, persetujuan, batasan-batasan pribadi, serta cara-cara untuk mengidentifikasi dan menghindari situasi pelecehan seksual.
Dengan memahami apa yang normal dan tidak normal dalam interaksi fisik dan perilaku, anak-anak akan lebih siap untuk mengenali tanda-tanda pelecehan seksual dan melaporkannya kepada orang dewasa yang bisa dipercaya.
Kalau kamu berniat memasukkan anak ke pesantren, jangan lupa memastikan bahwa pesantren tersebut memang bagus dan bisa dipercaya.
Selain itu, orang tua perlu berkomunikasi secara terbuka dengan anak-anak mereka tentang pentingnya menjaga diri dari pelecehan seksual, baik di lingkungan pesantren maupun di tempat lain.