person holding black stones person holding black stones

Cerpen Teenlit: Sang Aurora

Ia memang seindah namanya, orang-orang menyebutnya Aurora. Seolah-olah ia memiliki sihir pada setiap mata yang memandang. Seperti halnya sinar menjelang matahari pagi, kau pun pasti akan terpukau padanya. Namun, kau tak perlu menjadi aurora untuk kukagumi. Tak usah kau memiliki sihir untuk membuatku terpukau, karena dirimu sungguh lebih cantik dari sang aurora. Aku selalu menyukai mata indahmu yang berkaca-kaca ketika memandangku, bibir merahmu yang selalu berseri tanpa kau poles, dan tingkah manjamu yang membuatku rindu saat-saat bersamamu.

Lalu aku mulai merebahkan diri di atas kasur, dengan tetap memegang diary ini. Menghembuskan nafas berat berkali-kali. Aku mulai ragu untuk menyentuh ponsel lagi.

Entahlah, sesuatu terasa sesak di dalam dada. Mungkin ini yang mereka sebut sakit hati. Sakit ini memaksaku untuk terus mengeluarkan air mata, memaksaku untuk selalu mengingat wajahmu, kenangan-kenangan indah bersamamu, janji-janji manismu, juga takdir yang begitu kejam.

Dan yang paling menyakitkan, aku harus pura-pura tersenyum di hadapan orang-orang. Aku masih tetap dengan tangisanku ketika ponsel di meja tiba-tiba berbunyi. Aku tergopoh-gopoh mengambilnya, berharap itu adalah pesan darimu.

Ah… ternyata bukan, bahkan kau pergi begitu saja tanpa aku tahu letak kesalahanku. Dan rangkaian kata-katamu terlalu menusuk untuk ku baca lagi.

***

            Pagi ini langit sedang tak bersahabat, mendung hitam bergelantung. Bulan semalam juga tak terlihat sedang mengintip layaknya pagi-pagi yang lalu. Aku hanya dapat berdiri malas sambil menahan sesuatu yang terasa menyiksa di dalam dada.

Kuliah dimulai sepuluh menit lagi, dan aku baru bangun dari tempat tidur. Sungguh kejam sesuatu yang bernama cinta itu. Membuatku jatuh terlalu keras dan kesakitan. Lagi-lagi air mataku menetes, dan aku harus segera bersiap-siap pergi ke kampus.

            Dosenku kelihatan kecewa ketika aku masuk kelas terlambat, empat puluh menit lebih katanya. Dan aku di anggap tidak mengikuti kelas. Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, ini memang kesalahanku sendiri.

Lalu ketika kelas telah selesai, aku melihatmu berjalan melewati depan kelasku dengan seorang perempuan. Ingin rasanya mengejar, tapi harga diriku lebih penting daripada engkau.

”Kau baik?” tiba-tiba suara Erlia mengagetkanku, aku hanya tersenyum dan mengangguk.

”Kelihatan dari sinar matamu yang redup, tak seperti biasa,”tambahnya.

Lalu ia menggandengku dan menuntunku ke taman. Ia menunjuk pada kumpulan bunga sepatu yang masih kuncup.

”Ibaratkanlah kesedihanmu seperti bunga-bunga yang kuncup itu,” ia mulai berbicara sambil tersenyum lembut ke arahku. Sungguh, tak ada yang lebih menenangkanku sebelumnya. Tangannya mulai menyentuh pundakku. Kurasakan sentuhan hangat seorang sahabat saat itu.

”Mereka, para bunga sepatu tentu tidak terlihat cantik ketika sedang kuncup. Dan mereka menunggu waktu dimana Tuhan akan membuat mereka mekar kembali. Nah… percalayah, kesedihanmu ini tidak akan lama jika kau bersabar layaknya bunga-bunga itu.”

”Kau tahu masalahku?

”Tentu, dan aku yakin kau bisa menghadapinya.”

Dia mulai memelukku, baru kurasakan indahnya persahabatan selama ini. Aku mungkin terlalu egois dengan sekitarku sehingga tak tahu bahwa banyak orang-orang yang lebih menyayangiku. Lagi-lagi kau sedang di taman dengan gadis tadi. Seperti sedang mengikutiku dari kelas.

Aku tak bisa melepas tatapanku, rasanya dadaku terlalu panas untuk memendam rasa sakit ini. Aku berdiri dan berjalan ke arahmu, tak kuhiraukan Erlia yang berkali-kali memanggil namaku untuk berhenti.

”Rio?” teriakkanku lantang di sertai air mata, cukup membuatmu tersentak dan menatapku tajam. Tatapanmu sangat beda dari biasanya.  Aku tak lagi mempedulikan rasa gengsi atau apapun, yang terpenting aku hanya ingin mendapat penjelasan darimu. Kau mulai berdiri dan meninggalkan gadis di sebelahmu.

”Ada apa?”

”Kau? Tega sekali rupanya. Kenapa kau pergi secara tiba-tiba? Apa salahku? Dan dimana janjimu akan menganggapku sebagai auroramu?” Aku tak tahu, mungkin sifatku terlalu berlebihan seperti remaja-remaja sekolah. Tapi sungguh, rasa sakit yang telah ku pendam lama ini seperti meluap begitu saja.

”Akan kujelaskan besok saja. Aku harus kuliah,” lalu kau berjalan meninggalkanku seperti tak bersalah apa-apa. Meghampiri gadis tadi dan mulai berjalan berjajar. Tak ada yang lebih menyakitkan selain yang kurasakan ini.

Lututku terasa lemas, tubuhku seperti tak punya tenaga untuk berdiri, dan aku masih harus tetap menghadapi kenyataan pahit ini sampai besok dan seterusnya. Rasanya aku terlalu lemah untuk menghadapi semuanya.

            Baru saja aku memejamkan mata untuk tidur, tiba-tiba ponsel di sebelahku berbunyi. Aku sedikit malas untuk melihatnya, mungkin teman-teman kuliah yang bertanya tugas seperti biasa. Saat ku tekan tombol baca, ternyata pesan itu darimu.

Dan kau menyuruhku mengingat kembali permintaan yang ku ucapkan saat pertama menjadi kekasihmu. Aku mulai memutar otak, mengingat lagi beberapa hal yang pernah kulontarkan begitu saja padamu.

***

            Satu tahun lalu, kau datang dan menyatakan rasa kagum padaku. Mengajakku berjalan-jalan sambil menunggu matahari terbenam di pantai. Kau bilang, aku sangat cantik dan mengagumkan. Namun bukan karena alasan itu kau mencintaiku.

Aku memandangmu dan tersenyum, kulihat senyummu juga mengembang dan sangat manis.

”Jangan kau lukai aku sampai kapanpun, janji ya!” Dan kau membalas uluran jari kelingkingku, berjanji tak akan membuat hatiku sakit.

”Tak akan aku gores hatimu dengan luka walau sekecil debu .”

”Jika sampai kau mencintai orang lain saat telah bersamaku. Akan lebih baik jika kamu tak usah lagi menghubungi atau sekedar menjelaskan alasanmu. Pergi saja langsung dari hidupku, dan kita anggap semua telah selesai. Akan lebih sakit kalau kau mengungkapkannya di depanku.”

”Tak akan aku lakukan. ”

Kau kembali tersenyum dan menunjuk arah depan. Ternyata matahari mulai bersembunyi di ujung laut sana. Lalu kau memejamkan kedua matamu, bibirmu menyimpulkan sedikit senyum dan kau sunguh terlihat manis.

Cukup lama kau mengajakku menghabiskan waktu melihat langit senja. Sebelum akhirnya mengajakku berdiri dan mengantar pulang.

***

            Hatiku semakin terasa sakit. Kau membuatku merasakan sesuatu yang benar-benar menyiksa. Ternyata kau menghindar memang karena wanita itu. Kau menyukainya dan meninggalkanku begitu saja, seperti yang kuminta dulu. Tak aku balas pesanmu, terlalu menyedihkan apa yang kurasa. Aku hanya takut menghadapi esok yang terasa gelap.

Cintamu telah membuatku terbang terlalu tinggi, kau memberiku sejuta harapan yang meyakinkan, dan akhirnya kau tetap menjatuhkanku juga. Aku kira jatuh cinta tak akan sesakit ini. Mereka bilang cinta itu indah, damai, membuat kita melayang, dan mengisi hari-hari kita dengan senyuman. Kenyataannya memang seperti hakikat jatuh pada umumnya, menyakitkan dan penuh luka.

            Aku mulai melihat lagi lukisan Aurora Borealis yang pernah kau hadiahkan di ulang tahunku. Sinarnya memang begitu indah, membuatku terkagum-kagum cukup lama. Rasa kantuk yang tadi menyerang kini telah hilang, berganti dengan hati yang terasa sesak penuh duka.

Aku mulai membuka buku diary yang penuh dengan tulisanmu lagi. Membaca setiap kalimat bualan yang pernah kau goreskan dengan tinta biru. “Aurora itu seperti nama seorang puteri. Gadis yang cantik, anggun, baik, dan memang pantas untuk selalu dijaga. Terimakasih cinta, masih setia untuk menjadi Auroraku”.

Benar-benar memuakkan, apa yang kau tulis hanyalah bualan seperti halnya lelaki lain. Lelaki yang tak tahu arti suatu perasaan sebenarnya. Lelaki yang tak mengerti betapa berharga dan lembutnya perasaan itu, perasaan yang seharusnya dijaga dengan baik, dimuliakan dan bukannya disakiti. Tuhan sungguh tak memberimu perasaan untuk kemudian dijual murah dan dilukai.

Aku menyesal telah mempercayakan hatiku untukmu. Kemudian air mataku kembali menetes, biarlah semua berjalan apa adanya. Akan kubiarkan air mata ini mengalir seperti seharusnya. Aku masih ingat perkataan Erlia, kebahagiaanku akan mekar seperti halnya bunga-bunga itu jika aku mau bersabar.

            Tak lagi kurasakan sakit sepedih hari lalu pagi ini, dan bulan semalam pun nampak layu telah terganti mentari. Aku berjalan ke arah kelas dengan senyum yang mulai tulus, tidak munafik seperti kemarin.

Dia, seorang perempuan yang dekat denganmu tiba-tiba berjalan di sampingku, mendampingiku. Kulihat sekilas wajahnya, dia memang sangat cantik dengan pakaian biru juga tas hitamnya. Baru aku tahu, ternyata kau memang mengibaratkan kekasih seperti Aurora. Memang hanya mengejar kecantikan dan keindahan.

Kau akan mencari dan terus mencari aurora-auroramu. Dan aku mempercepat langkahku, tak ingin berurusan dengannya lagi. Ketika aku sampai di lantai dua, kau keluar dari dalam kelas dan berhenti di depanku. Aku tahu, wajahmu sedikit merah. Mungkin kau terkejut atau malu. Entahlah.

”Hai Rio,” aku menyapamu dengan senyum yang sedikit kubuat-buat.

”Aku ingat perkataan Bang Darwis Tere Liye bahwa Cinta sejati itu melepaskan. Akan tetapi, disini aku tidak bermaksud melepasmu untuk kemudian berharap kita akan bertemu lagi dan berjodoh. Aku melepasmu untuk mendapat cinta yang lebih baik lagi. Terimakasih untuk bualanmu selama ini, jangan pernah berharap aku akan kembali padamu. Yang terpenting aku tidak menyia-nyiakan cinta seseorang. wanita setia tidak pantas untuk seorang  penghianat.”

            Lalu aku memandangmu, wajahmu terlihat sayu. Dan aku bersyukur atas kemenanganku.

”Kau tak tahu alasanku menjauhimu,” tiba-tiba kau mulai berani berbicara ketika aku membalikkan tubuh, hendak meninggalkanmu.

”Oh.. tentu aku tahu. Karena kau mencintai wanita itu kan? Dan sesuai permintaanku dulu, kau tak mengatakannya padaku.”

”Itu sesuai permintaanmu dulu.”

”Oh jelas, terimakasih banyak ya. Kau benar-benar tak bisa berpikir ternyata, kau kira bagaimana jadinya perasaanku? Terserah kau saja. Yang perlu kau ingat, kau tidak pantas untukku. Aku setia dan kau penghianat. Satu lagi, kau benar-benar pembual. Kau bilang aku tak perlu menjadi aurora untuk kau cintai. Nyatanya cintamu tak tulus, hanya memandang fisik,” Aku langsung membalikkan tubuh meninggalkanmu.

Sebenarnya air mataku sudah tak dapat ku bendung lagi. Ingin rasanya memukul wajahmu yang dulu pernah ku kagumi itu, namun aku tak ingin memperlihatkan kesedihanku padamu. Kau berlari mengejarku dan berusaha mengimbangi langkahku yang semakin cepat.

”Hai, kenapa lagi Rio? Pergilah bersama Auroramu yang baru,” ucapku sambil melemparkan buku diary yang penuh bualan itu ke mukamu. Kau hanya diam. Aku tahu kau kelihatan kecewa dan merasa sangat bersalah. Dapat kulihat dari tatapan matamu yang sendu.

Kini kau tak lagi mengejarku, berhenti di tempat aku melemparkan diary tadi. Dan aku tetap berjalan menjauh dengan hati yang sudah sangat terbakar. Kenapa ia tak mengejarku? Hanya itu yang ada di pikiranku. Sungguh memuakkan, kau tak mengejarku untuk meminta maaf.                                                                   

            Aku duduk di beranda rumah. Memandang ke arah ribuan bintang yang tak kusangka akan datang malam ini. Tak seperti biasanya, malam ini aku sengaja menikmati langit malam sambil ditemani secangkir kopi. Indah sekali, gumamku dalam hati.

Aku bersyukur berkali-kali di dalam hati telah terbebas dari lelaki pembual sepertimu. Memang rasa sakit ini belum sembuh seluruhnya. Namun aku yakin, ini semua adalah perasaan menuju kedewasaan yang pasti kurasakan dalam peralihan dari masa kesedihan menuju masa kebahagiaan.

            Ketika aku sedang tersenyum sambil memandang bintang-bintang itu, ponsel di sampingku berbunyi. Ternyata lagi-lagi pesan singkat darimu. Sungguh, aku muak sekali sebenarnya. Isinya singkat dan sempat membuat hatiku memanas kembali.

Maafkan aku karena telah mengganti auroraku. Aku tidak tahu harus bagaimana? Tapi aku sungguh mencintainya. Kau pasti akan menemukan yang terbaik untukmu. Suatu hari nanti. Kau akan menjadi Aurora yang benar-benar sempurna.

Menyinggung Aurora lagi. Membuatku ingin tertawa didepanmu, tertawa untuk menghina lelaki penghianat seperti dirimu. Tak aku balas pesanmu untuk kesekian kalinya. Tidak penting menurutku. Kembali ku minum kopi hitamku sambil memandang langit.

          

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *