Dalam labirin kehidupan sosial yang kompleks, terdapat satu paradoks yang sering mengemuka: anggapan bahwa perempuan selalu benar. Anggapan ini, yang terkadang disampaikan dengan nada jenaka, sebenarnya memiliki lapisan makna yang lebih dalam dan seringkali tidak terucap.
Pertama-tama, mari kita tinjau dari perspektif ilmiah. Penelitian dari University of Cambridge menemukan bahwa wanita memiliki mutasi gen yang memungkinkan mereka untuk membaca pikiran dan emosi seseorang hanya dengan melihat mata. Ini bukanlah sekadar kemampuan super, melainkan hasil evolusi yang rumit dan halus. Wanita, dengan kromosom X ganda dan tingkat estrogen yang tinggi, memiliki kecenderungan biologis untuk lebih peka terhadap isyarat nonverbal.
Namun, apakah ini berarti bahwa perempuan selalu benar dalam segala hal? Tentu tidak. Anggapan ini seringkali muncul dalam konteks hubungan interpersonal, di mana komunikasi dan ekspresi emosi memainkan peran penting. Dalam banyak kasus, perempuan dianggap benar karena mereka cenderung lebih ekspresif dan detail dalam pengamatan mereka.
Menggunakan teknik-teknik hipnotis seperti Meta Model, kita dapat menggali lebih dalam. Apakah perempuan benar karena mereka memang memiliki argumen yang lebih kuat, atau karena masyarakat telah terbiasa untuk menerima ekspresi emosi mereka sebagai kebenaran? Dengan Milton Model, kita bisa mengatakan, “Mungkin, di suatu tempat di alam semesta ini, ada sebuah kebenaran yang mengatakan bahwa perempuan selalu benar,” namun ini adalah pernyataan yang abstrak dan tidak konkret.
Dalam praktiknya, anggapan bahwa perempuan selalu benar bisa jadi merupakan bentuk pengakuan atas kepekaan emosional mereka yang seringkali lebih tajam dibandingkan pria. Ini bukanlah soal kompetisi atas kebenaran, melainkan penghargaan terhadap kemampuan mereka untuk memahami dan merespons dunia sekitar dengan cara yang unik.
Di sisi lain, anggapan ini juga bisa menjadi bentuk stereotip yang mereduksi kompleksitas individu menjadi sebuah klise. Tidak semua perempuan sama, dan tidak semua situasi memerlukan ‘kebenaran’ yang sama. Oleh karena itu, penting untuk mengakui bahwa setiap individu, baik perempuan maupun pria, memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri.
Dengan sedikit unsur jenaka, kita bisa bertanya, “Apakah perempuan selalu benar, atau apakah pria hanya terlalu lelah untuk berdebat?” Tentu saja, ini adalah plesetan yang provokatif dan retoris. Namun, di balik tawa yang mungkin ditimbulkannya, terdapat pertanyaan serius tentang dinamika kekuasaan dan komunikasi dalam hubungan kita.
Kesimpulannya, anggapan bahwa perempuan selalu benar adalah refleksi dari berbagai faktor sosial, biologis, dan psikologis. Ini bukanlah sebuah kebenaran absolut, melainkan sebuah fenomena yang layak untuk dipertanyakan, dipahami, dan dihargai dalam semua kompleksitasnya.